Skip to main content

Fungsi Hukum Sebagai Alat Politik

Salah satu fungsi dari hukum adalah sebagai alat politik, artinya hukum berfungsi sebagai sarana untuk memperkokoh kekuasaan politik atau mengefektifkan pelaksanaan kekuasaan negara. Melihat fungsi tersebut,
menunjukan keberadaan hukum tertulis yang dibuat secara prosedural. Pada kenyataannya keberadaan hukum dan politik memang tidak bisa dipisahkan, karena hukum itu sendiri sebagai kaidah (tertulis) merupakan pesan-pesan politik, namun harus diingat dan dipahami setelah ditetapkan pemberlakuannya, tidak boleh lagi ditafsirkan secara politik yang bermuatan "kepentingan", tapi harus ditafsirkan secara yuridis.

Sebaliknya, hukum tidak boleh dipisahkan dari nilai-nilai moral, seolah-olah hukum tertulis tidak berkaitan dengan moral, sehingga muncul anggapan bahwa kaum profesional adalah ahli dalam perkara hukum baik teori maupun praktik, tetapi jangan menilai mereka dari aspek moral. Pemisahan hukum dari moral oleh kalangan penganut formail-legalistic membuat nilai-nilai hukum semakin kehilangan bobotnya yang mestinya berfungsi sebagai institusi moral karena mengandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Misalnya dalam hal penggusuran, sesuai dalam UUD45 pasal 33 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Artinya bila terjadi penggusuran pada suatu daerah atau lahan yang telah ditempati oleh warga masyarakat, dan masyarakat di sana mempunyai bukti sah kepemilikan tanah berupa sertifikat maka pemerintah mempunyai daya paksa pencabutan hak sesuai dengan UU No. 20/1961 jo PP No. 39/73. Namun yang harus diingat pencabutan hak itu hanya bisa dilakukan bila penggusuran demi atau mengatasnamakan kepentingan umum, dan pemerintah wajib memberikan kompensasi kepada masyarakat. Artinya bila terjadi penggusuran oleh pemerintah untuk dan atas nama kepentingan umum maka pemerintah berhak mencabut hak atas tanah tersebut pada masyarakat dan pemerintah wajib pula mengadakan ganti rugi dengan terlebih dahulu mengedepankan musyawarah mufakat. Di situlah letak moral yang mengandung nilai-nilai keadilan.




Penegak hukum harus bisa menyikapi hukum berdasarkan kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat. Pengabaian nilai-nilai hukum yang memiliki semangat untuk memperbaiki tingkah laku masyarakat, tidak harus diwujudkan secara mekanisme prosedural, moral dan etika harus selalu senyawa dengan praktik hukum dan tidak boleh dipandang tidak ada kaitannya antara moral dan hukum, karena proses politik tetap butuh etika, aturan main dan moralitas. Jikapun dunia politik terus berputar, sementara hukum mulai merangkak dari bawah, bukan berarti politik mengalahkan proses hukum. Para politisi harus menghargai proses hukum sebagai bagian  dari tanggung jawab moral bagi pencerahan demokrasi.

Mengkaji hakikat fungsi hukum sebagai sarana politik, perlu dilihat dari dua pandangan hukum yang berbeda. Pertama pandangan dari aliran dogmatic yang selalu melihat fungsi hukum sematan-mata sebagai alat politik untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan.  Hukum sebagai alat politik memandang keberadaan negara harus didukung oleh hukum, meskipun disisi lain mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Kedua pandangan aliran sosiologis yang menilai hukum sebagai alat politik dan merupakan hal yang universal, tapi bila diterapkan setelah diundangankan harus dipisahkan dari kepentingan politik penguasa negara.

Perbedaan sudut pandangan diatas sebenarnya berawal dari perbedaan pandangan atas kemandirian hukum. Pandangan aliran dogmatik  menilai bahwa hukum tertulis itu otonom tidak boleh dicampuri oleh unsur-unsur di luarnya (moral dan religius). Sementara pandangan aliran sosiologis melihat hukum tertulis sebagai kenyataan sosial yang tidak mungkin bebas dari pengaruh yang ada dari luar dirinya, seperti ekonomi, politik dan sosial budaya.

Han Klesen (Purnadi Purwacarakan dan Soerjono Soekanto, 1983:12) sebagai pencetus teori "hukum murni"  yang dengan sendirinya termasuk kaum dogmatic mendukung hukum dapat berfungsi sebagai alat politik, dengan menyatakan bahwa “pemisahan politik secara tegas sebagai mana dituntut oleh ajaran murni tentang hukum, dan bukan dengan objeknya yaitu hukum. Dengan tegas dikatakan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan oleh politik”.
Tidak mungkinnya hukum dipisahkan dari politik merupakan gambaran dari sebuah realitas yang diharapkan mampu memajukan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap kebijakan negara terhadap pembangunan, sebenarnya juga merupakan kebijakan politik, dan hukum dijadikan sarana melegalkan pelaksanaan pembangunan melalui norma-normanya. Hal ini menunjukan hukum mempunyai konsekuensi yang tidak mungkin menghindar untuk digunakan sebagai alat politik dari pemerintah.

ARTIKEL MENARIK LAINNYA :
KETENTUAN JAM LEMBUR
Perbuatan-perbuatan Yang Termasuk Penghinaan
Tehnik Wawancara Seorang Advokat
CONTOH SURAT KUASA KHUSUS
EKSEPSI DAN BANTAHAN POKOK PERKARA
STUDI KASUS PERPAJAKAN : PINDAH TUGAS KE DAERAH, KENAPA NILAI PAJAK YANG DIBAYAR MENJADI TINGGI?

Konsepsi hukum sebagai alat politik akan lebih transparan apabila dikaitkan dengan konsep negara hukum yang dikemukakan oleh Mac Iver (1960:250) bahwa ada 2 jenis hukum dalam kekuasaan politik, yaitu:
a. Hukum konstitusi (UUD), yaitu hukum yang mengemudikan negara. Jenis hukum ini harus dibedakan dengan undangan-undang dan peraturan di bawahnya, serta kekuasaan badan legislative.
b. Hukum biasa (UU) atau ordinary law, yaitu hukum yang digunakan sebagai alat untuk memerintah. Jenis hukum ini dapat digunakan sebagai alat politik, akan tetapi tetap tidak boleh bertentangan dengan hukum konstitusi yang mengemudikan negara.

Dengan demikian, fungsi hukum sebagai alat politik dalam kenyataannya memang diakui keberadaannya, tapi sayangnya lebih cenderung “berfungsi untuk memperkokoh kekuasaan negara serta mengefektifkan fungsi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan masyarakat”. Namun yang perlu diingat fungsi hukum tersebut tetap ada batasnya, yaitu tidak bertentangan dengan konstitusi. Penggunaan hukum sebagai alat politik akan tampak mulai pembentukan hukum, penyusunan kaidahnya, sampai pada pelaksanaanya di dalam kehidupan masyarakat. 

Comments

Popular posts from this blog

Cara Membuat Surat Izin Prakti di DPMPTSP Kab. Tangerang

Surat izin praktik (SIP) merupakan syarat wajib bagi Nakes (Tenaga Kesehatan) dan Named (Tenaga Medis) untuk melakukan praktik baik secara mandiri maupun di Fasilitas Layanan Kesehatan (fasyankes). Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia dimana sudah kita bahas pada artiker sebelumnya. Untuk pembuatan surat izin praktik (SIP) mengacu pada ketentuan undang-undang No. 17 tahun 2023 tentang kesehatan dimana syarat untuk mendapatkan surat izin praktik (SIP) hanya ada 2, yaitu STR yang masih berlaku dan tempat praktik. Namun kewenangan penerbitan surat izin praktik (SIP) berada pada pemerintah masing-masing daerah melalui dinas penanaman modal dan pelayanan satu pintu  (DPMPTSP) melalui sistem yang terintegrasi bersama dinas kesehatan kab./kota. Dalam proses penerbitan surat izin praktik (SIP), masing-masing pemerintah daerah mempunyai aturan syaratnya sendiri dan tak heran kita akan temui syarat yang berbeda-beda dalam proses tersebut di masing-masing ...

PERTAMBANGAN PASIR LIAR DI KLATEN

Peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Dalam pembangunan, peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkatkan pula kebutuhan akan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.                 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) “Bumi dan Air dan Kekayaan Alam yang Terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat” . Untuk mengantisipasi ketentuan ini agar dapat mencapai sasaran, maka diundangkanlah Undang-undang No. 5 Tahun 1960, tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria, yang populer dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), bahwa hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penguasaan, persediaan dan pemeliharaan bumi dan ruang angka...

TINDAK PIDANA TERTENTU

Tindak pidana tertentu (TIPITER) Istilah tindak pidana tertentu atau TIPITER sebagaimana aturan Pasal-pasal yang dimuat dalam Buku II dan III Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), adalah meliputi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Disebut sebagai tertentu karena tindak kejahatan yang dimaksud bukan delik pidana yang terjadi secara umum. Ada beberapa faktor diantaranya yang menjadikan sifat perbuatan menjadi tindak pidana tertentu yakni :   Faktor hubungan atau adanya kedekatan emosional antara pelaku dan korban sebelum terjadi tindak pidana. Faktor keadaan atau situasi pada tempat kejadian perkara (locus delicti).   Faktor obyek tindak pidana yang memiliki ciri khas dari kondisi umumnya. Faktor pemberatan pidana karena adanya gabungan tindak pidanan lain yang dilakukan secara bersama. BACA JUGA: YURISPRUDENSI Sebagai contoh, apabila peristiwa pencurian umum antara pelaku dan korbanya tidak pernah saling kenal atau tidak ada hubungan ke...