Perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha
untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu dan untuk pekerjaan
tertentu. Tidak semua jenis pekerjaan dapat dibuat dengan perjanjian kerja
waktu tertentu. Pasal 57 Ayat 1 UU No. 13 tahun 2003 mensyaratkan bentuk PKWT
harus tertulis dan mempunyai 2 kualifikasi yang didasarkan pada jangka waktu
dan PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu Pasal 56 Ayat
(2) UU No. 13 tahun 2003. Secara limitatif, Pasal 59 menyebutkan bahwa PKWT
hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan
kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, paling lama 3
tahun, pekerjaan yang bersifat musiman dan pekerjaan yang berhubungan dengan
produk baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajalan.[1]
Perjanjian kerja
waktu tertentu harus memenuhi syarat-syarat pembuatan, baik syarat formil
maupun syaratmateril. Dalam undang-undang nomer 13 tahun 2003 syarat materil
diatur dalam pasal 52, 55, 58, 59 dan 60, sedangkan syarat formil diatur dalam
pasal 54 dan 57. Sedangkan syarat
formil pembuatan PKWT yaitu harus memut sekurang-kurangnya :
a.
Nama, alamat
perusahaan dan jeis usaha
b.
Nama, jenis
kelamin, umur dan alamat pekerja/buruh.
c.
Jabatan atau
jenis pekerjaan
d.
Tempat pekerjaan
e.
Besarnya upah
dan cara pembayarannya
f.
Syarat-syarat
kerja yang memuathak dan kewajiban pengusha dan pekerja/buruh
g.
Mulai dan jangka
waktu berlakunya perjanjian kerja
h.
Tempat dan
lokasi perjanjian kerja dibuat, dan
i.
Tanda tangan
para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian kerja
waktu tertentu dibuat dalam rangkap 2, masing-masing untuk pengusaha dan
pekerja/buruh. Mengingat perlunya pencatatan PKWT sebagai mana diatur dalam
pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomer Kep.
100/Men/VI/2004, maka ditambah 1 rangkap lagi yaitu untuk instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat. Pencatatan
dilakukan selambat-lambatnya hari kerja sejak penandatanganan perjanjian kerja.
Perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT), yaitu perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan
kerja tetap. Masa berlakunya PKWTT berakhir sampai pekerja memasuki usia
pensiun, pekerja diputus hubungan kerjanya, pekerja meninggal dunia. Bentuk
PKWTT adalah fakultatif yaitu diserahkan kepada para pihak untuk merumuskan
bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Hanya saja berdasarkan
Pasal 63 Ayat (1) ditetapkan bahwa apabila PKWTT dibuat secara lisan, ada
kewajiban pengusaha untuk membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang
bersangkutan. PKWTT dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3
(tiga) bulan dan dalam hal demikia, pengusaha dilarang untuk membayar upah di
bawah upah minimum yang berlaku. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 60 Ayat (1) dan
(2) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
http://strategihukum.net/wp-content/uploads/2013/04/PERJANJIAN.jpeg |
Berdasarkan
pasal 1 angka 2 Kepmenakertans 100/2004, Pengertian PKWTT adalah Perjanjian
kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja
yang bersifat tetap. PKWTT dapat dibuat secara tertulis . Dalam PKWTT dapat disyaratkan masa percobaan
paling lama 3 (tiga) bulan. Dalam masa percobaan ini, pengusaha dilarang
membayar upah dibawah upah minimum yang
berlaku. Ketentuan inimerupakan upaya untuk melindungi pekerja/buruh dari sikap
semena-mena pengusaha.[2]
PKWTT tidak
boleh dibuat secara lisan, karena sesuai dengan ketentuan pasal 63 ayat (1)
Undang-undang nomer 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengusaha wajib
membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh. Di dalam surat pengangkatan
sekurang-kurangnya harus memuat :
a.
Nama dan alamat
pekerja/buruh
b.
Tanggal mulai
kerja
c.
Jenis pekerjaan
dan
d.
Besarnya upah.
Catatan Kaki:
[1] R. Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum Perburuhan di Indonesia, Grhadika Binangkit Press, Jakarta, 2004, Hal. 15
[2] Zulmawan
Wawan, Panduan prekatis pelaksanaan
hubungan industrial, Jalam Permata Akasara, Jakarta, 2017, Hal 21.
BACA JUGA :Prosedur Mediasi Di Pengadilan
Comments