Pemutusan hubungan kerja pada dasarnya merupakan masalah yang kompleks karena mempunyai dampak pada pengangguran, kriminalitas, kesempatan kerja. Seiring dengan laju perkembangan industri serta meningkatnya jumlah angkatan kerja yang bekerja, permasalahan pemutusan hubungan kerja merupakan permasalahan yang menyangkut kehidupan manusia.
Pemutusan hubungan kerja bagi pekerja merupakan awal penderitaan bagi pekerja dan keluarganya. Sedang bagi perusahaan pemutusan hubungan kerja juga merupakan kerugian karena harus melepas pekerja yang telah dididik dan telah mengetahui cara-cara kerja di perusahaannya.Terjadinya pemutusan hubungan kerja dengan demikian bukan hanya menimbulkan kesulitan bagi pekerja tetapi juga akan menimbulkan kesulitan bagi perusahaan. Untuk itu pemerintah perlu ikut campur tangan dalam mengatasi masalah pemutusan hubungan kerja.
Pemerintah telah mengadakan kebijaksanaan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dengan maksud untuk lebih menjamin adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja antara lain menetapkan peraturan perundang-undangan tentang pemutusan hubungan kerja, penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta berbagai keputusan menteri.
Menurut Sendjun H. Manulang dikenal ada empat jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yakni :
- Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
- Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja
- Hubungan kerja putus demi hukum
- Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan.
1. Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha
Pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha harus memenuhi syarat-syarat. Alasan pemberhentian hubungan kerja dapat digolongkan dalam tiga golongan yaitu :
a. Alasan yang berhubungan atau yang melekat pada pribadi pekerja
b. Alasan yang berhubungan dengan tingkah laku pekerja, dan
c. Alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan artinya demi kelangsungan jalannya perusahaan.
2. Pemutusan hubungan kerja oleh pekerja
Seorang pekerja yang akan mengakhiri hubungan kerja harus mengemukakan alasan-alasannya kepada pengusaha. Alasan mendesak adalah suatu keadaan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan pekerja tersebut tidak sanggup untuk meneruskan hubungan kerja/
3. Hubungan kerja putus demi hukum
Selain diputuskan oleh pengusaha atau oleh pekerja hubungan kerja dapat putus atau berakhir demi hukum, artinya hubungan kerja tersebut harus putus dengan sendirinya.
4. Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan perdata biasa atas permintaan yang bersangkutan (pekerja / pengusaha) berdasarkan alasan penting. Alasan penting adalah di samping alasan mendesak juga karena perubahan keadaan dimana pekerjaan yang dilakukan sedemikian rupa sifatnya, sehingga adalah layak untuk memutuskan hubungan kerja.
Selanjutnya pemerintah telah melengkapi aturan-aturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan menetapkan Kepmenaker No. Kep. 150 / Men. / 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubngan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian. Kemudian pemerintah juga menetapkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 76 / Men / 2001 tentang Perubahan atas beberapa pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep. 150 / Men./ 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan. Sehubungan dengan berlakunya Permenakertrans No. Kep. 78 / Men / 2001` mengalami beberapa kendala, antara lain tuntutan dari Serikat Pekerja yang tidak menghendaki berlakunya Permenakertrans yang dianggap merugikan pekerja, maka sebagai tindak lanjut diberlakukan kembali Kepmenaker No. Kep. 150 / Men. / 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan.
BACA JUGA :
UNSUR PERJANJIAN KERJA
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA
BACA JUGA :
UNSUR PERJANJIAN KERJA
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA
Hak-hak pekerja atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian sebagaimana dimaksud diatas didasarkan pada ketentuan sebagai berikut :
- Jika PHK terjadi karena pekerja mengundurkan diri secara sepihak atas kemauan sendiri , maka pekerja yang bersangkutan hanya berhak mendapatkan uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian.
- Dalam hal PHK perseorangan terjadi bukan karena kesalahan pekerja tetapi pekerja dapat menerima PHK tersebut, maka pekerja berhak mendapatkan uang pesangon paling sedikit 2 (dua) kali sesuai ketentuan pasal 22 , uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 23 dan ganti kerugian sesuai pasal 24, kecuali kedua belah pihak menentukan lain.
- Dalam hal PHK massal karena perusahaan tutup akibat mengalami kerugian terus-menerus disertai bukti laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik paling sedikit 2 (dua) tahun terakhir, atau keadaan memaksa besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugian ditetapkan berdasarkan ketentuan dalam pasal 22, 23, 24 kecuali kedua belah pihak menentukan lain dan dalam hal PHK massal karena perusahaan tutup akibat efisiensi, maka pekerja berhak mendapat uang pesangon sebesar 2 (dua) kali sesuai dengan ketentuan pasal 22, uang penghargaan masa kerja sesuai dengan ketentuan pasal 23 dan ganti kerugian berdasarkan ketentuan pasal 24 , kecuali kedua belah pihak menentukan lain.
Sebagai pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja, mereka tetap berhak mendapatkan hak-hak mereka , yang terdiri dari :
a.Uang Pesangon
Yang besarnya paling sedikit adalah sebagai berikut :
- Masa kerja kurang dari 1 tahun , 1 bulan upah ;
- Masa kerja 1 tahun atau l ebih tetapi kurang dari 2 tahun , 2 bulan upah ;
- Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun , 3 bulan upah ;
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun , 4 bulan upah ;
- Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun , 5 bulan upah ;
- Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun , 6 bulan upah ;
- Masa kerja 6 tahun atau lebih , 7 bulan upah.
b. Uang Penghargaan Masa Kerja
Yang besarnya adalah sebagai berikut :
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun , 2 bulan upah ;
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun , 3 bulan upah ;
- Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah ;
- Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun , 5 bulan upah
- Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah
- Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun , 7 bulan upah
- Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah
- Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah.
c. Uang Ganti Kerugian
Ganti kerugian ini meliputi hal-hl sebagai berikut :
a. ganti kerugian untuk istirahat tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
b. ganti kerugian untuk istirahat panjang bilamana di perusahaan yang bersangkutan berlaku peraturan istirahat panjang dan pekerja belum mengambil istirahat itu menurut perbandingan antara masa kerja pekerja dengan masa kerja yang ditentukan untuk dapat mengambil istirahat panjang.
c. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ketempat dimana pekerja diterima kerja.
4. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja, apabila masa kerjanya memenuhi syarat untuk mendapatkan uang penghargaan masa kerja.
5. Hal-hal lain yang ditetapkan oleh Panitia Daerah atau Panitia Pusat.
Untuk mengatasi problema pemutusan hubungan kerja perlu adanya proses demokratisasi di tempat kerja. Hal ini disebabkan demokratisasi di tempat kerja merupakan suatu proses pengambilan keputusan yang obyektif, sehingga kebijakan yang diambil secara demokratis, diharapkan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh para pengambil keputusan itu sendiri.
Di samping itu, proses pengambilan keputusan secara demokratis ini pada gilirannya dapat mendorong terciptanya hubungan kemitraan antara pekerja / buruh dan pengusaha, yang cenderung bersifat bermusuhan, namun saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Dalam situasi dan kondisi dimana persaingan dagang semakin ketat, hubungan kemitraan antara pekerja / buruh dan pengusaha , yang berdasarkan demokratisasi di tempat kerja, merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam suatu kegiatan usaha di era globalisasi, jika pengusaha dan pekerja / buruh menginginkan kegiatan usahanya maju dan berkembang, serta dapat bersaing baik dalam tataran nasional maupun dalam tataran internasional .
Hubungan kemitraan antara pekerja / buruh dan pengusaha secara konkrit dapat dilihat dalam kegiatan partisipasi pekerja / buruh dalam menentukan kebijakan perusahaan (worker participation) . Sedikit-dikitnya ada 3 (tiga) bentuk partisipasi. Pertama , keikutsertaan buruh dalam menentukan upah , syarat-syarat kerja, dan kondisi kerja lainnya melalui pembentukan perjanjian kerja bersama secara damai (Peacefull Collective Bargaining). Kerjasama dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja ini merupakan sarana untuk meningkatkan hubungan kemitraan pekerja / buruh dan pengusaha. Hal ini disebabkan Perjanjian Kerja Bersama merupakan sumber hukum perburuhan otonom yang paling obyektif. Atas dasar pertimbangan ini, ILO (International Labour Organization) menetapkan Konvensi ILO No. 98 tentang Kebebasan berserikat dan Berunding Bersama, serta Rekomendasi ILO No. 91 tentang Perjanjian Kolektif. Melalui kedua konvensi dan rekomendasi tesebut, ILO mengamanatkan kepada negara-negara anggota ILO untuk menjamin kaum pekerja / buruh atas hak berserikat dan hak berunding bersama.Konvensi ini dimaksudkan untuk mendorong kerjasama antara pekerja / buruh dan pengusaha dalam menentukan syarat-syarat kerja dan kondisi kerja. Hal ini tercermin dalam Pasal 4 Konvensi ILO No. 98, yang menyatakan :
Measure appropriate to national cnditions shall be taken, where neccesary, to encourage and promote the full development and utilization of machinery for voluntary negotiation between employers or employers organization, with a view to the regulation of terms and condition of employment by means of collective agreements.
Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) Rekomendasi ILO No. 91 menyatakan :
Machinary appropriate to the condition existing in each country should be establish by means of agreement or laws or regulations as may be appropriate under national conditions, to negotiate, conclude, revise and renew collective agreements, or to available to assist the parties in the negotiation, conclution, revition and renewal of collective agreements.
Kedua, keikutsertaan pekerja / buruh dalam menentukan kebijakan perusahaan yang bersifat menejerial melalui suatu sistem kerjasama pekerja / buruh dan pengusaha. Kerjasama dalam menentukan kebijakan perusahaan yang bersifat menejerial ini menempatkan posisi pekerja / buruh sebagai faktor internal, bukan sebagai faktor eksternal. Posisi pekerja / buruh demikian ini akan meningkatkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggungjawab (sense of responsibility) terhadap perusahaan, yang pada gilirannya dapat menciptakan hubungan kemitraan, sehingga timbulnya konflik antara pekerja / buruh dan pengusaha dapat dicegah atau paling tidak dapat diminimalisasi dan hubungan kemitraan dapat lebih diperkokoh.
Hal ini dimungknkan karena sistem kerjasama pekerja / buruh dan pengusaha ini dapat memberikan rekomendasi kepada menegemen perusahaan.
Pertama, rekomendasi tentang persiapan rencana produksi serta penentuan target produksi yang hendak dicapai.
Kedua, rekomendasi tentang metode dalam mengorganisasikan proses produksi agar dapat mengoptimalkan efisiensi.
Ketiga, rekomendasi tentang peningkatan kerjasama antar para pelaku dalam proses produksi.
Keempat, rekomendasi tentang pemberian reward kepada pekerja / buruh yang berhasil memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan hasil produksi.
Sistem kerjasama pekerja / buruh dan pengusaha ini pada dasarnya sudah bersifat universal, karena sistem kerjasama pekerja / buruh dan pengusaha ini dapat dijumpai di berbagai negara. Di samping hal-hal tersebut di atas keikutsertaan pekerja / buruh dalam kepemilikan saham ESOPs ( Employee Stock Ownership Plans ) . Melalui pelaksanaan program kepemilikan saham ini pekerja / buruh diposisikan sebagai faktor konstitutif yang turut serta menjadikan perusahaan. Posisi pekerja / buruh ini memiliki posisi yang besar untuk bekerja keras dalam memajukan perusahaan.
Comments