Skip to main content

PENYIDIKAN DALAM TINDAK PIDANA PAJAK

Dalam hal melakukan penyidikan pada tindak pidana pajak, hal yang pertama kali dilakukan adalah melakukan pemeriksaan terhadap bukti permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.

Kemudian apabila dalam melakukan pemeriksaan terhadap bukti permulaan terdapat temuan, maka kejadian tersebut disebut dengan bukti permulaan. Bukti permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Setelah melakukan pemeriksaan terhadap bukti permulaan kemudian ditemukannya bukti permulaan terhadap dugaan tindak pindana pajak tersebut maka langkah selanjutnya adalah memeriksa berdasarkan Ruang Lingkup untuk mengembangkan lagi jenis pelanggaran (satu, beberapa, atau seluhu jenis pajak / satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak)

Standar dalam pemeriksaan bukti permulaan dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Standar Umum (bersifat pribadi dan berkaitan dengan persayaratn pemeriksaan dan mutu pekerjaanya).

Pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan yang merupakan Pejabat Fungsional Pemeriksa Pajak dan memenuhi syarat sbb :
  • Telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki ketrampilan sebagai Pemeriksa Bukti Permulaan, dan menggunakan keterangannya secara cermat dan seksama;
  • Jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan
  • Taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan.
2. Standar Pelaksanaan
Standar pelaksanaan dalam melakukan pemeriksaan bukti permulaan yaitu,
  1. Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan mendapat pengawasan yang seksama; 
  2. Luas Pemeriksaan Bukti Permulaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, permintaan keterangan, konfirmasi, dan pengujian lainnya berkenaan dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan; 
  3. Temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan harus didasarkan pada bukti yang sah dan cukup dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; 
  4. Tim Pemeriksa Bukti Permulaan terdiri dari beberapa Pemeriksa Bukti Permulaan yang salah satunya adalah Penyidik, kecuali dalam hal di suatu Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak tidak ada Penyidik; 
  5. Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau di tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Bukti Permulaan; 
  6. Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja; 
  7. Pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan didokumentasikan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan; 
  8. Pemeriksaan Bukti Permulaan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); dan 
  9. Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada huruf h diberi hak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam batas waktu yang ditentukan dalam hal hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak. 
Kemudian adanya kertas kerja pemeriksaan, dengan tujuan sebagai :
  1. Bukti bahwa Pemeriksa Bukti Permulaan telah melaksanakan tugas Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana mestinya berdasarkan keahlian dan pengalaman yang dimilikinya; 
  2. Dasar pembuatan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan; 
  3. Bahan dalam melakukan pembahasan akhir dengan Wajib Pajak mengenai temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak; 
  4. Bahan untuk Pemeriksaan dan/atau Pemeriksaan Bukti Permulaan berikutnya, Penyidikan, atau tindakan lainnya; 
  5. Sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat ketetapan pajak.

3. Standar Pelaporan
Standar pelaporan dalam melakukan pemeriksaan bukti permulaan disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan, memuat simpulan Pemeriksaan Bukti Permulaan yang didukung temuan yang kuat mengenai ada atau tidaknya Bukti Permulaan, dan memuat pengungkapan informasi lain yang terkait. Isi dalam standar pelaporan berisi :
  1. Penugasan Pemeriksaan Bukti Permulaan; 
  2. Identitas Wajib Pajak; 
  3. Tempat dan waktu kejadian; 
  4. Pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak; 
  5. Pemenuhan kewajiban perpajakan; 
  6. Data/informasi yang tersedia; 
  7. Daftar buku dan dokumen yang dipinjam; 
  8. Materi yang diperiksa; dan 
  9. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan meliputi : 
    • Penghitungan besarnya kerugian pada pendapatan negara atau penghitungan pajak yang terutang; 
    • Modus operandi;
    • Pasal-pasal yang dilanggar; 
    • Identitas calon tersangka atau para calon tersangka serta pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan; 
    • Identitas calon pelaku pembantu; 
    • Identitas para calon saksi; 
    • Daftar bahan bukti yang diperoleh;
    • Simpulan; dan 
    • Usul tindak lanjut.
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap bukti permulan dan ditemukan temuan dugaan tindak pidana pajak, maka ditindak lanjut terhadap temuan tersebut ke tahapap penyidikan.

Peyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. sedangkan Penyidik merupakan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan penyidikan diatur dalam UU KUP ( Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) pada pasal 44 ayat 1,3 dan 4, yang berbunyi :

Ayat 1 :
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. 

Ayat 3:
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 

Ayat 4 :
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. 

Untuk tahap selanjutnya apa sudah dilakukan penyidikan maka dikeluarkan hasil penyidikan untuk dapat disidik di Kepolisian.

Demikianlah proses penyidikan dalam tindak pidana pajak, semoga bermanfaat.

Comments

Popular posts from this blog

Cara Membuat Surat Izin Prakti di DPMPTSP Kab. Tangerang

Surat izin praktik (SIP) merupakan syarat wajib bagi Nakes (Tenaga Kesehatan) dan Named (Tenaga Medis) untuk melakukan praktik baik secara mandiri maupun di Fasilitas Layanan Kesehatan (fasyankes). Hal tersebut telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia dimana sudah kita bahas pada artiker sebelumnya. Untuk pembuatan surat izin praktik (SIP) mengacu pada ketentuan undang-undang No. 17 tahun 2023 tentang kesehatan dimana syarat untuk mendapatkan surat izin praktik (SIP) hanya ada 2, yaitu STR yang masih berlaku dan tempat praktik. Namun kewenangan penerbitan surat izin praktik (SIP) berada pada pemerintah masing-masing daerah melalui dinas penanaman modal dan pelayanan satu pintu  (DPMPTSP) melalui sistem yang terintegrasi bersama dinas kesehatan kab./kota. Dalam proses penerbitan surat izin praktik (SIP), masing-masing pemerintah daerah mempunyai aturan syaratnya sendiri dan tak heran kita akan temui syarat yang berbeda-beda dalam proses tersebut di masing-masing ...

PERTAMBANGAN PASIR LIAR DI KLATEN

Peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Dalam pembangunan, peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkatkan pula kebutuhan akan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan.                 Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) “Bumi dan Air dan Kekayaan Alam yang Terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk Sebesar-besarnya Kemakmuran Rakyat” . Untuk mengantisipasi ketentuan ini agar dapat mencapai sasaran, maka diundangkanlah Undang-undang No. 5 Tahun 1960, tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria, yang populer dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), bahwa hak menguasai dari negara memberi wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penguasaan, persediaan dan pemeliharaan bumi dan ruang angka...

TINDAK PIDANA TERTENTU

Tindak pidana tertentu (TIPITER) Istilah tindak pidana tertentu atau TIPITER sebagaimana aturan Pasal-pasal yang dimuat dalam Buku II dan III Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), adalah meliputi tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Disebut sebagai tertentu karena tindak kejahatan yang dimaksud bukan delik pidana yang terjadi secara umum. Ada beberapa faktor diantaranya yang menjadikan sifat perbuatan menjadi tindak pidana tertentu yakni :   Faktor hubungan atau adanya kedekatan emosional antara pelaku dan korban sebelum terjadi tindak pidana. Faktor keadaan atau situasi pada tempat kejadian perkara (locus delicti).   Faktor obyek tindak pidana yang memiliki ciri khas dari kondisi umumnya. Faktor pemberatan pidana karena adanya gabungan tindak pidanan lain yang dilakukan secara bersama. BACA JUGA: YURISPRUDENSI Sebagai contoh, apabila peristiwa pencurian umum antara pelaku dan korbanya tidak pernah saling kenal atau tidak ada hubungan ke...